Cast
:
SHINee – Choi Min Ho
SHINee – Choi Min Ho
F(x)
– Krystal a.k.a Jung Soo Jung
SNSD
– Jessica a.k.a Jung Soo Yeon (Krystal’s sister)
F(x)
– Choi Sulli a.k.a Kim Yoo Jin
4MINUTE
– Kwon Soh Hyun
SHINee
– Key a.k.a Kim Ki Bum
KARA
– Kang Ji Young a.k.a Kim Ji Young (Key’s sister)
F(x)
– Victoria Song a.k.a Choi Hye Jin (Min Ho’s older sister)
FT
Island – Choi Jonghun
Disclaimer
: I make it just for fun, please don't kill me ^^. It's real my story
from my imagination!
Happy
Ending
PART 1
“Permainanmu
bagus, tapi sayang kau tidak bisa memainkannya dengan hati. Selama
ini kau hanya bisa meniru, tidak menjadi dirimu sendiri...”
***
PART
1
Badai
salju yang menyelimuti Seoul tadi malam, membekaskan warna torehan
putih polos di setiap sudut kota. Salju kira-kira setebal 8 senti ini
membuat banyak penduduk harus bangun pagi dan membersihkan jalan agar
bisa dilewati.
Lingkungan
rumah sakit yang biasanya sepi, justru diramaikan tawa anak-anak
kecil. Dengan kompaknya, mereka membuat boneka salju dan tertawa
bersama. Sesosok perempuan, melihat itu semua dari balik jendela dan
ikut tersenyum. Pemandangan yang sangat jarang setelah 5 hari berada
di Rumah Sakit pada musim salju.
Kreeek
Pintu
terbuka pelan, terlihat seorang wanita dewasa memasuki ruangan itu.
“Soo
Jung, kau sudah siap?” tanya wanita itu dengan lembut. Soo Jung
menoleh ke arah suara.
“Soo
Yeon onnie?”
Soo
Yeon menatap Soo Jung, agak pucat dan rapuh.
“Pakai
syalmu, diluar dingin sekali”
Soo
Jung tersenyum melihat tingkah kakak perempuannya yang mengusap-usap
tangan berulang kali.
“Mungkin
kau mau sakit, makanya dingin” ujar Soo Jung, lalu berbalik
menghadap jendela lagi.
Soo
Yeon tersenyum.
“Rumah
sakit telah membuatmu lebih ceria ternyata”
“Tidak,
justru aku ingin cepat pulang” sebal Soo Jung dengan kedua pipinya
yang menggembung.
“Ya
sudah lah, aku bantu bawakan barang-barangmu” ucap Soo Yeon sambil
menarik koper adiknya pelan bermaksud mengakhiri pembicaraan.
“Onnie”
panggil Soo Jung lirih tanpa menatap kakaknya. Soo Yeon terdiam,
kemudian memandang adiknya lekat-lekat.
“Ayah,
tidak datang lagi?” Tanya Soo Jung pelan.
Soo
Yeon tercengang, bingung akan menjawab apa. Hanya sebuah pertanyaan.
Tapi itu benar-benar pertanyaan yang membingungkan. Bahkan untuk saat
ini, dia memilih menghadapi banyak permintaan yang menyebalkan dari
kliennya.
“Kak”
Soo
Yeon mendongak, terbangun dari pikiran-pikiran yang bergulat dalam
benaknya.
“Jadi,
ayah tidak datang?” tanya Soo Jung memastikan.
Soo
Yeon menggeleng pelan. Ia ingin mengunci bibirnya. Kalau perlu
mengacak-acak isi tasnya untuk mencari plester dan melekatkannya
dibibir. Cara apapun, agar sebisa mungkin tidak menjawab Soo Jung.
“Tidak”
kata Soo Yeon akhirnya.
Saat
itu juga Soo Jung mulai tersenyum. Senyum yang sama setiap kali dia
merasa bersedih. Senyum yang menunjukkan dia mampu bergembira lagi.
Senyuman yang sesungguhnya sangat indah, tapi rasanya begitu
menyakitkan bagi Soo Yeon, melihat senyum Soo Jung dibalik semua rasa
pedih adiknya.
“Baiklah
kalau begitu.” ujar Soo Jung sangat bersemangat “Ayo, kita
pulang!”
Soo
Jung langsung menggandeng tangan kakaknya pergi keluar ruangan.
Seakan-akan, dia sudah melupakan semua kesedihannya.
“Kenapa
kau begitu kuat Soo Jung?”
gumam Soo Yeon dalam hati.
“Waktunya
tidak lama. Mungkin, hanya satu bulan.”
DEG…
Jantung
Soo Yeon seakan berhenti mendadak. Dadanya sesak. Matanya panas,
memaksakan agar air mata itu tidak keluar.
“
Secepat
itukah?”
***
Duk…
Duk…
Hentaman-hentaman
bola basket memenuhi ruangan lapangan basket. Anak-anak laki-laki
kelas tiga menggunakan jam istirahat untuk bermain basket seperti
biasanya. Teriakan dan dencit suara sepatu mereka berpadu seperti
irama. Murid-murid perempuan duduk di barisan penonton, ada yang
sedang asyik ngobrol, atupun menyaksikan dengan teliti permainan ini.
Yah, meskipun ini bukan pertandingan sesungguhnya, tak jarang
murid-murid perempuan berteriak kompak untuk menyemangati jagoannya.
“Oper!”
Ciitt…
Duk..
Duk..
Ciit…
“Choi
Min Ho!” sebuah teriakan keras dari arah timur, membuat permainan
basket terhenti. Ternyata itu teriakan seorang guru wanita, Bu guru
Kim, guru musik sekolah. Ruangan yang tadinya ramai menjadi hening,
mereka semua justru terfokus pada sosok laki-laki yang sedang
bersiap-siap memasukkan bola ke ring, Choi Min Ho.
“Min
Ho, hentikan itu sekarang juga! Kemari!” teriak Bu Kim lagi.
Min
Ho menyeka keringatnya, kemudian melempar bola basket asal-asalan dan
mendekati guru itu.
“Ikut
aku” tegas guru wanita itu sambil memperbaiki letak kaca matanya.
“Sudah
berapa kali aku bilang kepadamu?!” seru Bu Kim, dengan
menggebu-gebu. “Hal yang paling berharga bagi seorang musisi adalah
tangan. Jangan buat aku marah lagi Choi Min Ho! Ini terakhir kalinya
kau melakukan hal-hal yang bisa membahayakan tanganmu!”
Min
Ho hanya menunduk, tidak menggangguk atupun menolak teguran keras
itu. Dalam hatinya penuh dengan rasa sesal yang tidak tertahankan.
Tapi, itulah sifat Min Ho, tatapannya tak berubah. Dingin seperti
biasanya.
“Kedua
orang tuamu telah mempercayakanmu kepadaku! Jangan sampai pertunjukan
perdanamu rusak hanya gara-gara tingkahmu yang ceroboh itu!”
Min
Ho mendengus pelan, orang tuanya memang ingin dia bisa menjadi
seorang pianis. Dari umur sepuluh tahun dia mempersiapkan diri.
Latihan keras dan banyak membuang waktu untuk satu hari besar dalam
hidupnya. Bahkan ia sempat belajar piano ke Pranciss ketika ayahnya
juga mengurus bisnis kesana.
Hingga,
akhirnya pada akhir bulan ini, dia ditunjuk pembuka acara diikuti
permainan pianis-pianis muda berbakat sepertinya dari berbagai
sekolah. Ya, itulah waktu dan tempat yang tepat, dimana orang-orang
bisa melihat hasil kerja kerasnya.
“Sekarang
kembali ke kelasmu!” perintah Bu Kim tegas, raut mukanya terlihat
capek menghadapi tingkah Min Ho yang tak acuh. Min Ho membungkuk
sekilas, lalu keluar dari ruang guru diikuti tatapan dan bisikan
beberapa guru-guru yang sedari tadi memperhatikan.
***
Yoo
Jin [*Choi Sulli F(x)] mendongak, matanya menelusuri halaman sekolah.
Terlihat anak-anak berlarian memasuki gerbang sekolah, 5 menit lagi
gerbang akan di tutup. Tapi sosok yang ia cari, tidak muncul-muncul
juga. Yang ada justru salju-salju putih yang kerap kali membuat
matanya silau.
“Seharusnya
hari ini dia datang” gumam Yoo Jin dengan kekecewaan yang terpatri
diwajahnya.
“Kim
Yoo Jin!” teriakan sebuah suara yang tidak asing. Suara yang ia
rindukan. Ia menoleh ke pintu gerbang, begitu menemukan orang yang
sedari tadi ditunggunya, ia pun tersenyum.
“Soo
Jung?” gumam Yoo Jin tidak percaya melihat sahabatnya berdiri
didepannya. Segera Yoo Jin memeluk Soo Jung, melepaskan rindu yang
tidak tertahankan. “Akhirnya kau bisa kembali lagi” kata Yoo Jin
gembira. “Ayo kuantar ke kelas, teman-teman sudah merindukanmu”
ajak Yoo Jin sambil membenarkan syalnya.
“Teman-teman!”
teriak Yoo Jin mengagetkan murid-murid sekelas “Lihat siapa yang
datang!”
Yoo
Jin menarik Soo Jung masuk.
“Hai,
aku kembali lagi”
“Soo
Jung?”
Soo
Jung tersenyum, senyumnya yang khas.
Teman-teman
yang melihat senyum itu lalu ikut tersenyum, dan menyapa Soo Jung
ramah.
“Ya!
Biarkan Soo Jung duduk dulu dong” pinta Yoo Jin kasihan melihat
muka pucat sahabatnya.
“Kau
tau, nilaiku turun gara-gara tidak ada kau.”
“Pasti
bosankan di rumah sakit?”
“Akhirnya,
aku kira kau akan kembali Senin depan.”
“Pelanggan-pelanggan
buburku mrindukan kau tau. Ke ke ke.”
Yoo
Jin tertawa kecil melihat tingkah teman-temannya, seperti tidak
pernah melihat orang yang baru keluar rumah sakit.
Tapi,
tawa Yoo Jin lagsung memudar melihat tubuh mungil Soh Hyun* Kwon Soh
Hyun- 4MINUTE * yang tidak menggubris Soo Jung sama sekali.
“Soh
Hyun, kau tidak ingin menyapa Soo Jung?” Tanya Yoo Jin yang heran
melihat Soh Hyun yang memilih tetap berkutik dengan bukunya daripada
memperhatikan Soo Jung. Paling tidak, dia bisa memberikan sedikit
senyumnyakan?
“Pentingkah?”
katanya sinis tanpa memandang sedikitpun.
“Tapi__”
kata Yoo Jin ingin mulai bicara lagi, agak sebal dengan tingkah Soh
Hyun itu.
“Sudahlah
Yoo Jin” sela Soo Jung berbisik tepat di telinga Yoo Jin.
“Kenapa
Soh Hyun begitu sinis kepadamu Soo Jung?” tanya Yoo Jin pelan.
“Entahlah”
jawab Soo Jung dengan tenang. Tapi pikirannya tidak lepas tentang Soh
Hyun.
Kenapa
kau membenciku Soh Hyun?
***
Jam
sekolah sudah menunjukkan pukul 4 sore. Satu jam yang lalu, sekolah
masih ramai oleh murid-murid yang mengkuti ekstrakulikuler atupun
pelajaran tambahan di sekolah. Tapi sekarang sungguh sepi. Ocehan
murid-murid ataupun suara langkah kaki tak terdengar.
Tapi,
dari arah ruang musik suara dentingan piano menggema dilorong-lorong
sekolah dan memecah keheningan sore itu. Ternyata sedari tadi Min Ho
telah berlatih nada yang sama berulang kali. Keringatnya bercucuran
tak menentu, tangan nyapun sampai gemetar karena lelah.
“Aaarghhh”
BRUK…
Tiba-tiba
ia ambruk diatas piano putih itu.
“Aku
benar-benar tidak bisa memainkan bagian itu.” Gumamnya “Apa aku
menyerah saja? Gagalkan permainan piano perdanaku?” Min Ho
memejamkan matanya sejenak. Ia dapat membayangkan dia berada diatas
panggung, kemudian banyak penonton menyorakinya karena tidak mampu
menyelesaikan permainannya.
Teng…
Dentingan
suara piano membuat mata Min Ho terbuka karena kaget.
“Kau,
kenapa menghentikan permainanmu?” tanya sosok perempuan dari
belakang Min Ho. Min Ho terbangun dan menoleh.
“Siapa
kau?” tanya Min Ho heran.
“Jung
Soo Jung” kata Soo Jung ceria sambil mengulurkan tangannya, “Dan
kau?”
“Kau
tidak dengar ya? Aku tanya ‘siapa kau’, bukan ‘namamu’”
ucap Min Ho dingin tidak membalas uluran tangan Soo Jung.
Soo
Jung, tak menjawab, ia terdiam sebentar, kemudian duduk disamping Min
Ho, dan tanpa aba-aba, dia memainkan sebuah lagu dengan kedua
tangannya.
“Twinkle
twinkle little star
Shining
beautifully
Even
in the East sky
Even
in the West sky
Twinkle
twinkle little star
Shining
beautifully
Beautifully…”
“Siapa
kau?” tanya Min Ho benar-benar merasa terusik. Bukannya menjawab,
Soo Jung justru balik bertanya.
“Kau
bilang tadi mau menyerah yah? Kau ada permainan piano perdana?
Hebat!”
Min
Ho agak terkejut mengetahui Soo Jung mendengar gumaman-gumamannya
sendiri.
“Sebenarnya,
sejak kapan kau berada disana?” Dia benar-benar tidak suka
percakapan basa-basi.
“Ehmm…
2 jam yang lalu” jawab Soo Jung. “Aku sedang membaca buku di
pojok sana, dan kau tiba-tiba masuk, lalu memainkan piano tanpa
melihatku. Kau benar-benar tidak menyadarinya.”
“Terserah
lah” ucap Min Ho mulai frustasi, lalu dia menjentikkan jari-jarinya
bermaksud untuk memulai bermain piano lagi.
“Kalau
boleh, aku ingin memberimu saran” ucap Soo Jung sambil mengambil
tasnya di pojok. “Permainanmu bagus. Tapi sayang, kau tidak
memainkannya dengan hati. Dan selama ini, kau hanya bisa meniru tanpa
bisa jadi dirimu sendiri.”
Min
Ho terdiam, jadi
diri sendiri? Dengan hati? Meniru?
“Apa
maksud__” Min Ho menoleh kebelakang, tapi Soo Jung sudah tidak ada
disana.
“Permainanmu
bagus. Tapi sayang, kau tidak memainkannya dengan hati. Dan selama
ini, kau hanya bisa meniru tanpa bisa jadi dirimu sendiri.”
“Aku
tidak mengerti” ujar Min Ho benar-benar merasa sebal lalu
mengacak-acak kepalanya yang tidak terasa gatal. “Bodoh”
***
Kamar
mewah itu terlihat sedikit terang. Yang menyinari hanyalah lampu
tidur yang redup dan sinar bulan yang menawan karena salju tidak
turun malam itu.
Soo
Jung berdiri menatap keluar jendela. Tidak mengamati apapun, dan
tidak melamunkan apapun. Diotaknya hanya ada kata ‘menunggu’. Ia
menunggu mobil hitam mengkilat yang biasanya masuk ke halaman besar.
Itu mobil Ayahnya. Ya, dia sedang menunggu Ayahnya pulang kerja. Dan
entah sudah berapa ribu kali ia melakukan hal yang sama tiap malam.
Sebuah
suara membuat Soo Jung tersentak.
“Apa
mobil Ayah?” pikirnya bahagia.
Tidak,
dia salah terka. Itu mobil penjaga yang khusus untuk berpratoli di
sekitar rumah. Soo Jung menunduk seperti merenungkan sesuatu,
kemudian menoleh pelan menatap jam dinding di kamarnya. Jam
menunjukkan pukul 12 malam. Ia menghela napas membuat kepulan asap
kecil yang mengembun di kaca jendela.
“Benar-benar
tidak pulang?” gumamnya pelan.
“Karena
kau! Ini semua karena kau lahir!”
Suara
itu menggema lagi di kepalanya.
“Kau
pembunuh”
Soo
Jung menutup telinganya, berusaha tidak mendengar suara-suara itu
lagi tapi tidak bisa. Ia tetap mengingatnya dengan jelas.
Kepingan-kepingan kejadian yang membuat batinnya sesak.
“Kelahiranmu
tidak pernah diharapkan!”
Soo
Jung tidak kuat lagi, ia mulai menitikkan air mata. Walau ia berusaha
menghapusnya, tapi air matanya justru mengalir lebih deras.
“Anak
pembawa sial!”
“Tidak”
kata Soo Jung pada dirinya sendiri. “Aku harus bisa menerimanya.
Tidak ada gunanya aku menangis, itu tidak akan merubah semuanya”
“Istriku
meninggal karena melahirkan kau!”
DEG…
“Akkhhh”
Soo Jung berteriak tiba-tiba sambil meremat kepalanya.
“Aaaaaaaaaaaakkkkkkkkhhhhh!!!”
teriaknya lagi terlihat begitu tersiksa.
BLAK…
Pintu
kamarnya tiba-tiba menjeblak terbuka.
“Soo
Jung!!” teriak Soo Yeon ketakutan, kemudian menitih Soo Jung ke
tempat tidur dibantu tiga pembantu wanita yang terlihat khawatir.
“Sakiiiiiittttttt!!!”
Teriakan
Soo Jung tambah histeris. Dia memukul-mukul bantal dan
menjambak-jambak rambutnya.
“Kuat,
kau bisa melewatinya” jerit Soo Yeon. “Kau bisa! Kau bisa!” Soo
Yeon menahan tangan Soo Jung agar berhenti menyiksa diri sendiri.
“Aaakhhhhhhhh!!!!!”
Tangis
Soo Yeon tak tertahan lagi.
“Kau
harus kuat Soo Jung. Aku tau kau bisa melewati ini semua”
***
Min
Ho menatap piano di depannya. Sudah lewat tengah malam, tapi dia
tidak pernah beranjak dari tempat duduknya. Dlihatnya kertas
bertuliskan note-note yang seharusnya ia mainkan dengan lancar untuk
pertunjukan perdana. Tapi yang ada, ia tidak bisa memainkannya dengan
utuh. Jarinya seakan bergerak diluar kendalinya.
“Permainanmu
bagus. Tapi sayang, kau tidak memainkannya dengan hati. Dan selama
ini, kau hanya bisa meniru tanpa bisa jadi dirimu sendiri.”
“Aku
tidak mengerti” gumam Min Ho.
“Twinkle
twinkle little star
Shining
beautifully”
Min
Ho tersenyum ketika mengingat sebuah lagu.
“Lagu
anak-anak” gumam Min Ho lagi agak meremehkan.
Namun,
jarinya menari, mengikuti apa yang ada di pikirannya. Setiap
dentingan, melody, nada, berbaur jadi satu. Tanpa sadar, Min Ho
memainkan lagu itu juga.
“Twinkle
twinkle little star
Shining
beautifully
Even
in the East sky
Even
in the West sky
Twinkle
twinkle little star
Shining
beautifully”
Min
Ho mengakhiri denting terakhir dengan hela nafas yang cukup panjang,
serasa dia telah berkelana jauh kedalam angan-angan.
“Cukup
menyenangkan” gumamnya singkat kemudian berlatih sekali lagi
note-note didepannya.
***
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar